Majlis Ta’lim Wal Maulud Ad Diba’i : Maukah Saling Mendo’akan,,?
Bukan Saudara Sejati Atau Sejatinya Bukan Saudara?. Maukah Saling Mendo’akan?
وَالَّذِيٍنَ جَاؤُا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلِاِخْوَانِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْاِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِلَّذِيْنَا آمَنُوْ رَبَّنَا اِنَّكَ رَءُوْفٌ رَحِيْمٌ (الحشر :10 )
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshorin), mereka berdo’a, “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan jangnlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sungguh Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang” (Al-Hasyr: 10)
Ayat tersebut mengilhami pasal-pasal yang diterapkan oleh Nahdlatul Ulama (NU) Ahlus sunnah wal jama’ah (ASWAJA) tentang dalil mendo’akan orang lain yang telah mendahului kita. Di Timur Tengah terdapat banyak sekali ulama’ dan penduduk yang berfaham ahlus sunnah wal jama’ah. Seperti Lebanon sudah ada Syeikh Wahbah Az Zuhaili. Namun kelemahan dari Aswaja di Timur Tengah adalah mereka tidak mampu menghimpun diri menjadi organisasi layaknya Nahdlatul Ulama (NU). Dan mereka tidak memiliki kekuatan hukum sama sekali dalam pengadilan Internasional. Namun ketika sebuah isi terbungkus rapi dalam satu wadah yang bagus, maka ketika terjadi masalah seperti sebuah amaliah digugat oleh kelompok tertentu, maka melalui organisasi kita dapat membela diri dan menuntutnya.
Organisasi merupakan kebutuhan yang sangat urgent bagi penduduk besar untuk melindungi substansi kehidupan yang dijalaninya. Organisasi merupakan sebuah wadah untuk menampung kebutuhan masyarakat. Substansi sangat penting, namun wadah juga tidak kalah pentingnya. Isi tanpa wadah maka akan tumpah kemana-kemana tanpa ada yang memungutnya. Sehingga akan cenderung terbuang dan tidak dipungut lagi.
Sebuah organisasi yang secara terang-terangan dalam anggaran dasarnya (AD ART) menyebutkan paham ASWAJA resmi adalah NU. Secara gamblang dijelaskan bagaimana tentang tauhid, madzhab fiqih serta thoriqoh yang mereka pegangi.
NU sangat menyayangkan sebagian kelompok yang menganggap berdo’a hanya bersifat nafsi-nafsi. Tidak memerlukan bantuan do’a dari orang lain. Dengan pendapat yang seperti itu, bagaimana mungkin seseorang yang hanya memiliki tiket terbatas (batas usia 60 tahun) mampu membeli tiket surga untuk 1000 tahun lagi?. Pertanyaan tersebut hanya dapat terjawab melalui amalan-amalan yang dijalankan anak cucu kita, kemudian barokah dan pahalanya ditujukan kepada orang yang telah mendahuluinya (meninggal). Seperti dalam hadits yang menyebutkan bahwa salah satu amalan yang tidak dapat putus pahalnya meskipun seseorang sudah meninggal adalah keturunan yang sholih, yang mendo’akan orang tuanya.
Celakanya lagi yang dikawatirkan nantinya adalah ketika posisi pahala yang dimiliki tidak mencukupi target yang ditentukan, maka bagaimana nasib insan tersebut? Tentu sangat sulit untuk membeli tiket surga itu. Guru kami (Kh. Marzuqi) mengilustrasikan sebuah kejadian, ketika ada seorang Kyai yang telah memiliki amal bagus yang banyak dan sudah jelas memiliki harapan tinggi untuk masuk ke surga, namun hanya karena terdapat 2 amal kejelekan akhirnya tertolak semua amalanya. Bagaimana jika kondisi seperti itu terjadi?. Namun Allah sangat Maha Rohim. Karena adanya anak cucu dan santri yang senantiasa mendo’akannya, maka diputuskan kembali untuk diterimanya amal tersebut. Sehingga surgalah yang diperolehnya. Begitu pula yang telah dituturkan oleh sang guru kami: “Meskipun orang tua abangan, namun bibarokati waladin sholihin akhirnya terangkat” derajat kita. Itu karena Allah memiliki wewenang. Maka dari itu, khikmah yang dapat diambil adalah betapa pentingnya sokongan do’a dari anak-anak yang sholih untuk membantu menutupi kekurangan pahala amal yang kita miliki nantinya.
Saling mendo’akan merupakan hubungan persaudaraan orang mu’min lahir batin. Berbeda dengan orang atheis yang tidak mempercayai wujudnya Tuhan yang hanya menganggap semua adalah sebatas kewajiban administratif belaka. Setelah usai, maka usai pula segalanya. Tidak ada kegiatan atau rutinitas untuk mendo’akan para guru yang telah mengajarkan berbagai disiplin ilmu. Dan hal tersebut merupakan pendidikan ala kafir kafitalisme yang hanya bersifat transaksional. Jika seorang muslim dan berstatus santri pula melakukan model seperti itu, lalu apa bedanya orang mu’min dengan orang kafir?
Dan perlu diketahui pula bahwa karakter seorang mu’min adalah mau merasakan apa yang dialami mu’min lainnya. Masing-masing memiliki hubungan lahir batin dalam mencintai, mnyayangi, dan mengasihi. Seperti dalam hadits
اَلْمُؤمِنُ لِلْمُؤمِنِ كَالْجَسَدِ اْلوَاحِدِ
“Mu’min satu dengan mu’min lainnya adalah seperti satu tubuh”. Sehingga apabila salah satu anggota tubuh merasakan kesakitan, maka anggota tubuh lain akan merasakan sakitnya pula. Hal tersebut merupakan tingkat solidaritas yang sangat tinggi. Terlepas dari itu, salah satu tanda orang munafik adalah ketika seorang muslim mendapatkan kesenangan, yang lain merasa tidak senang atau sebaliknya.
تَحْسَبُهُمْ جَمِيْعًا وَقُلُوْبُهُمْ شَتًّا
“Mereka terlihat kumpul, namun sejatinya hatinya berpisah”
Hal tersebut bukan ciri seorang muslim sejati. Yang dikehendaki islam ialah ketika saudaranya senang, maka yang lain juga ikut senang. Namun ketika saudaranya mengalami kesusahan, maka yang lain juga merasakan seperti itu dan membantunya untuk memberi semangat kembali dalam menjalankan kehidupa berikutnya. Wallahu A’lamu.