Kajian

Ajaran Nabi yang Hilang: Berdoa Menggunakan Simbol dan Syair

Ponpesgasek.com – Mengikuti sunah berarti menunjukkan kecintaan kita kepada Nabi Muhammad Saw. Apabila seseorang bersungguh-sungguh mencintai rasul, maka ia akan senantiasa mengamalkan sunahnya baik dari perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya. Namun, dengan keadaan zaman yang semakin modern ini banyak dari ajaran sunah yang mulai hilang. Hal yang demikian menyebabkan banyak umat Islam yang tidak mengetahui akan ajaran-ajaran yang dahulu pernah beliau lakukan. Sehingga, mereka dengan mudahnya menyebut beberapa ajaran Nabi sebagai bidah. Padahal, ajaran yang diamalkan oleh kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah ini bersumber pada nash Al-Qur’an dan hadis sahih. Jadi, stop mengatakan bidah!

Lantas apa saja ajaran Nabi Muhammad yang hilang? Simak pembahasan berikut!

1. Berdoa Menggunakan Simbol

Berdoa dengan lisan sudah menjadi hal yang umum yang dilakukan oleh Nabi Muhammad serta umatnya. Seperti halnya doa Sapu Jagad yang sering diucapkan setelah salat lima waktu. Karena memang Allah meminta agar umat-Nya untuk selalu memanjatkan doa.

Selain berdoa dengan lisan, umat Islam juga menggunakan tulisan dalam berdoa, seperti yang telah dijelaskan dalam kitab Al-Adzkar An-Nawawi. Terdapat hadis dari Ibnu Umar riwayat Imam Turmudzi yang menyebutkan bahwa ada anak kecil yang sering sekali mengidap sakit. Kemudian, orang tua Si Anak tersebut menyowankan kepada sahabat Ibnu Umar. Lalu, beliau memberikan sebuah tulisan yang dibaca untuk memohon perlindungan Allah Swt. agar dijauhkan dari gangguan jin. Sebab ia masih anak-anak, maka tulisan berupa doa dari Ibnu Umar tadi dilipat dan dikalungkan ke anak tersebut. Dengan demikian, hal ini juga termasuk sunah yang dilakukan oleh para sahabat Nabi. Sebagaimana QS. Al-Mu’min ayat 60:

ٱدْعُونِىٓ أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Artinya : “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.

Lalu, bagaimana dengan berdoa menggunakan simbol? Dalam Islam, penggunaan simbol sebagai medium untuk berdoa bukanlah perihal yang asing, apalagi di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Namun, tak jarang ditemui segelintir orang yang menolak keberadaan ajaran ini. Hal ini disebabkan minimnya pengetahuan maupun dalil yang berkaitan dengan ajaran tersebut. Sehingga sebagian kalangan menentang aktivitas ibadah berupa doa yang menggunakan simbol. Mereka berpendapat bahwa itu termasuk bidah, khurafat, atau bahkan sampai menyebutnya musyrik.

Kalau pembaca bertemu dengan mbah-mbah Jawa, pasti akan memahami apa maksud dari berdoa dengan menggunakan simbol. Seperti dalam acara hajatan aqiqah bayi. Dalam acara tersebut, pasti ada jajan iwel-iwel. Jajanan ini ternyata merupakan simbol dari sebuah doa. Di mana ia mempunyai maksud sebagai perantara atau wasilah bagi harapan-harapan yang baik untuk Si Anak kelak. Dengan lantaran iwel-iwel, bayi diharapkan tumbuh menjadi seseorang yang rajin dan selalu mendoakan kedua orang tuanya. Jajan iwel-iwel itu juga memiliki maksud supaya Allah mengampuni segala dosa-dosanya.

Aliran yang mengatakan hal itu merupakan tradisi bidah, adalah salah besar. Karena zaman dahulu Nabi Muhammad saw. pernah memberikan contoh berdoa menggunakan simbol. Seperti ketika Nabi meminta hujan kepada Allah ketika mengalami musim paceklik dengan melaksanakan salat Istisqa’. Dalam salat istisqa’ itu Nabi memakai sorban yang kemudian beliau rubah posisinya dari tempat semula. Hal ini tentu dengan niat atau maksud supaya Allah merubah keadaan dari kekeringan menjadi hujan. Dari sini, kita ketahui bahwa Nabi memberikan contoh merubah posisi sorban tersebut adalah menjadi bentuk berdoa menggunakan simbol.

Begitu pula ketika Nabi sedang berziarah ke makam. Beliau memberikan pelepah daun kurma yang masih basah di atas makam tersebut. Kemudian sahabat Umar bertanya, “Mengapa engkau melakukan demikian ya Rasulullah?” Nabi menjawab “Supaya Allah meringankan siksa kuburnya selama daun itu belum kering.”

Sebagaimana penjelasan di atas patutlah kita ketahui bahwa Nabi Muhammad pun pernah memberikan tauladan berkenaan dengan berdoa menggunakan simbol. Bahkan banyak hadis-hadis yang meriwayatkan tentang ajaran Nabi yang berdoa dengan cara demikian. Namun, masihkah Anda mengatakan berdoa menggunakan simbol itu bidah?

2. Pujian Setelah Azan

Masyarakat Indonesia sudah tidak asing mendengar lantunan puji-pujian saat sebelum melaksanakan salat berjamaah di masjid, surau atau mushalla. Bahkan, di sebagian daerah tertentu masyarakat melantunkan doa, salawat, dan kata-kata hikmah berbentuk syair dengan penuh motivasi sebagai ibadah serta ketaatan. Sebagaimana sabda Rasulullah:

(الدُّعَاءُ بَيْنَ اْلأَذَانِ وَاْلإِقَامَةِ مُسْتَجَابٌ, فَادْعُوْا  (رواه أبو يعلى

Artinya : “Doa yang dibaca antara azan dan ikamah itu mustajab (dikabulkan oleh Allah). Maka berdoalah kamu sekalian.” (HR. Abu Ya’la)

Berdoa setelah azan untuk menunggu ikamah adalah waktu yang mustajab. Waktu antara azan dan ikamah merupakan waktu yang penuh keberkahan. Sudah sepantasnya sebagai seorang muslim menyibukkan diri untuk banyak berdoa. Pada saat itulah, orang-orang jawa menyebutnya sebagai pujian.

Nabi Muhammad juga menjelaskan bahwa dalam berdoa ada dua macam cara. Pertama menggunakan kalimat biasa lalu kedua menggunakan syair. Keduanya pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Seperti hadis riwayat Imam Bukhari Nomor 2837 yang isinya, “Di sela-sela perang Khandaq Nabi Muhammad beristirahat. Ketika itu pula Nabi membaca doa yang disyairkan dengan lantang dan keras.”

اللّهُمَّ لَوْلاَ أَنْتَ مَاهْتَدَيْنَا     وَلاَتَصَدَّقْنَا وَلاَ صَلَّيْنَا

فَأَنْزِلَنْ سَكِيْنَةً عَلَيْنَا           وَثَبِّتْ الأَقْدَامَ إِنْ لاَقَيْنَا

Ya Allah, seandainya bukan karena-Mu, maka kami tidak akan mendapatkan petunjuk,

Tidak akan bersedekah dan tidak akan melakukan shalat,

Maka turunkanlah ketenangan kepada kami,

Serta kokohkan kaki-kaki kami apabila bertemu dengan musuh.

Pada saat itu Rasulullah bersenandung dengan syair tersebut.

Dengan demikian, Nabi Muhammad pun telah memberikan contoh bait syair sebagai doa. Ia dibaca oleh Nabi Muhammad dengan cara  melagukannya. Lalu, masihkah mengatakan pujian itu bidah?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *